Review Anime: Akame Ga Kill

Akame Ga Kill

Akame ga Kill! menjadi salah satu anime paling hype setelah populernya anime naruto di pertengahan hingga akhir tahun 2014 kemarin. Banyak elemen yang menyebabkan anime yang diangkat dari manga karya Tetsuya Tashiro dan Takahiro ini menjadi perbincangan di media sosial diantaranya merupakan kesadisan yang timbul di anime ini dimana sebagian karakter di hampir tiap episodenya senantiasa mati dibunuh, sontak orang-orang segera menghubungkan anime ini dengan Shingeki no Kyojin apabila berdiskusi soal kesadisan, anime ini juga memiliki cukup banyak karakter moe melainkan berjiwa pembunuh teladan yang paling ketara salah satunya merupakan karakter yang menjadi nama dari anime ini Akame. hal yang demikian memang membikin Akame ga Kill populer terpenting di iklim anime seperti kini ini, melainkan hal hal yang demikian tak serta merta membikin penyesuaian diri anime Akame ga Kill menjadi baik terpenting dari segi cerita.

Anime garapan White Fox yang mempuyai genre shonen ini bercerita perihal perjalanan seorang petarung bernama Tatsumi yang pergi ke Capitol untuk menolong penduduk desanya, sesampai disana Tatsumi menemukan dunia yang penuh dengan tipu tenaga, korupsi dan ketidakadilan. Tatsumi bergabung dengan Night Raid, sebuah organisasi pemberontak yang berisikan pembunuh berdarah dingin seperti Akame, Chelsea, Leone, Mine, Lubbock, Sheele, Bulat. Mereka diketuai oleh Najenda yang yaitu eks pembunuh yang mengabdi terhadap pemerintahan yang korup. Konsep senjata di dalam serial ini terbilang unik, dalam beradu mereka memiliki senjata unik yang disebut relic, tiap orang memiliki relic yang berbeda-beda sehingga banyak macam senjata dalam anime ini. Untuk menempuh tujuan mereka, mereka beradu dengan orang-orang di pemerintahan yang menjegal pemberontakan mereka.

Pada mulanya cerita Akame ga Kill cukup menjanjikan sebab tema yang diusung merupakan pemberontakan kepada pemerintahan yang korup, sebuah tema yang cukup memasarkan untuk bidang action dan dapat menjadi cerita yang cukup dark melainkan anime ini kurang dapat memanfaatkan tema hal yang demikian dan terlalu terjebak dalam genre shonen standar tanpa adanya improvisasi cerita. Anime ini juga terlalu banyak menyelipkan lawakan atau filler di jeda-jeda pertarungan atau di jeda-jeda adegan serius sehingga pembawaan cerita tak dalam dan terkesan main-main. Plot anime ini juga mudah diterka dan anime ini juga senantiasa mengaplikasikan pola yang sama di hampir tiap-tiap episode sehingga cerita menjadi stereotip. Karna manganya sendiri belum selesai terjadilah original ending di akhir cerita dan original ending nya sendiri terlalu cheesy dan standar seolah-olah anime ini mengalami trainwreck ending.

Entah pengarang absah dari anime ini psikopat atau apa, segala karakter di anime ini senantiasa mati di hampir tiap-tiap episode. ini sedikit menganggu untuk komponen pengembangan karakter seolah-olah sepatutnya ada yang mati dahulu baru pengembangan karakter timbul dan seperti itu terus polanya. Anime ini juga memiliki pengembangan karakter apa adanya, dikala ada suatu karakter yang berkeinginan dieksplor anime ini malahan membunuh karakter hal yang demikian sehingga pengembangan karakter adakalanya putus di tengah jalan. Banyaknya karakter di anime ini seolah-olah cuma menjadi boneka dan cuma berperan untuk membikin pengembangan si karakter utama.

Akame ga Kill memang telah lebih dari cukup untuk memvisualisasikan kesadisan, kekerasan dan action di manga dalam medium anime melainkan hal hal yang demikian tak dapat menutup kelemahan anime ini terpenting di komponen cerita yang terlalu stereotip dan mudah diterka.

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *